GAMELAN
Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan
nada pentatonis, yang terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung,
Saron, Peking (Gamelan), Kenong dan Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang,
Rebab, Siter, Suling. Gamelan berasal dari bahasa Jawa “Gamel” yang berarti
memukul / menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya sebagai kata benda. Istilah
dari gamelan itu sendiri adalah sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan
secara bersama. Bagian utama dari alat musik gamelan adalah : Bambu, Logam, dan
Kayu. Gamelan ditemukan di candi pada
abad 8 Borobudur, Jawa Tengah.
Dalam mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh
Sang Hyang Guru di era Saka 167 (c.AD 230), dewa yang memerintah sebagai raja
dari seluruh Jawa dari sebuah istana di pegunungan Maendra di Medangkamulan
(sekarang Gunung Lawu). Gamelan pada saat itu digunakan sebagai media untuk
memanggil para dewa – dewa, guna untuk menyampaikan pesan yang lebih kompleks.
Gamelan adalah musik yang tercipta dari paduan bunyi gong, kenong dan alat
musik Jawa lainnya. Irama musik yang lembut dan mencerminkan keselarasan hidup
orang Jawa akan segera menyapa dan menenangkan jiwa begitu didengar.
Gamelan Okresta Ala Jawa
Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah
berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik baru jazz-gamelan, melahirkan
institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga menghasilkan
pemusik gamelan ternama. Pagelaran musik gamelan kini bisa dinikmati di
berbagai belahan dunia, namun Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat untuk
menikmati gamelan karena di kota inilah anda bisa menikmati versi aslinya.
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk
gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa
memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang
rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara
seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri
yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah
keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan
bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta
mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan
tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang
serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik
gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut,
gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam.
Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk
mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya
berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat
musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang,
gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik
gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi
tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah
irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik
dihiasi oleh irama gending.
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan
komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro
memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan
interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E-
F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan
diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet,
dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam
unit yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri
maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan
ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya
dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan
penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar
kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk
gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik
bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan
gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB
digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada
waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara
hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari
tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri
Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju
bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.
Proses pembuatan gamelan
Gamelan digunakan sebagai bunyi-bunyian pengiring dalam pagelaran wayang
kulit atau wayang orang. Gamelan digunakan sebagai kesenian rakyat maupun
istana. Dalam gamelan terdapat nilai-nilai religius-magis, sehingga
dilaksanakanlah upacara-upacara tertentu sebelum gamelan dibunyikan dalam
pagelarannya. Sampai saat ini, pembuatan gamelan masih dilakukan secara
tradisional, yaitu dengan menggunakan teknologi yang sederhana dengan
upacara-upacara dan tingkah laku ritual tertentu, sehingga hubungan antara
teknologi dan upacara-upacara serta tingkah laku sangat erat1. Dalam
penggunaannya, seperti bunyi-bunyian yang dihasilkan, masih tetap sama dari
jaman dahulu hingga sekarang.
Hanya pria yang bekerja dalam pembuatan gamelan karena diperlukan kekuatan
fisik yang besar, seperti dalam proses menempa dengan campuran tanah dan
tembaga yang memiliki berat hingga puluhan kilogram. Selain itu diperlukan pula
perilaku khusus dalam proses pembuatan gamelan agar tidak mengalami kegagalan.
Perilaku tersebut berupa perilaku yang bersifat rasional dan tidak rasional.
Perilaku rasional merupakan segala tindakan yang berhubungan dengan bahan baku,
sedangkan perilaku tidak rasional berupa upacara baik sebelum, sesaat, dan
sesudah proses pembuatan agar semua roh penghuni alam gaib lainnya memberkati usaha
mereka2.
Proses pembuatan gamelan terjadi di dalam dua tempat, yaitu di dalam besalen dan
diluar besalen
1.
Di Dalam Besalen
Besalen adalah ruangan khusus yang dapat disebut sebagai dapur dalam proses
pembuatan alat-alat gamelan. Besalen digunakan dalam proses
penempaan mulai dari bahan baku hingga jadi, sehingga disebut pula sebagai
“dapur” karena berisi perlengkapan “memasak”. Bangunan besalen merupakan
bangunan tembok atau setengah tembok. Besalen dengan suatu
hubungan atap genting yang tingginya sekitar 7-8 meter dan disangga oleh tiang
kayu atap tinggi untuk menghindari diri dari api perapen (perapian) karena
proses penempaan gamelan gong ageng menggunakan api perapen
sangat membara.
Bahan baku yang digunakan adalah timah putih dan tembaga, sedangkan alat
yang digunakan adalah perapen, palu, kowi, dan penyingen. Pembuatan
di dalam besalen dilakukan oleh pande gamelan.
Daerah sekitar perapen, yang merupakan jantung besalen,
harus segelap mungkin karena selama gamelan diolah dalam perapen,
perhatian pekerja terutama penyukat dan penglamus harus
diarahkan sepenuhnya pada warna logam yang sedang dibakar, sehingga gelap untuk
warna yang dikehendaki dapat terlihat jelas dan tepat serta tidak terkecoh dengan
warna lainnya yang mungkin akan terjadi jika banyak cahaya masuk (terang).
Proses yang terjadi di dalam besalen diawali dengan
tembaga dan timah putih yang dimasukkan ke dalam kowi (mangkuk
untuk melebur bahan dalam membuat seladren). Kowi sebelumnya
dibakar di perapen sampai merah agar tidak pecah selama ± 1
jam.
Proses selanjutnya untuk membuat legokan (cekungan) di
bagian tengah adalah Jero. Kemudian dilanjutkan dengan proses
ketiga, yaitu nyanduk. Nyanduk merupakan proses
pembuatan cendukan (cekungan) yang disesuaikan dengan ukuran
yang telah ditentukan. Proses ini disebut sebagai ndodok karena
dalam pelaksanaannya dipergunakan alas yang tinggi agar lakar dapat
diletakkan dalam posisi berdiri, sehingga dapat di dodog (dipukul
dari dalam).
Dalam proses keempat adalah ngundurke, yaitu memukul dengan
cara mundur untuk membuat sudut dengan menggunakan palu undur-unduran.
Proses ini bertujuan untuk membuat bau (bahu) dan dilanjutkan
dengan penghalusan dengan cara mendo, yaitu meratakan yang dilakukan
dari bagian dalam. Sampai proses ini selesai, bau belum
mencapai ukuran yang sesuai dengan yang telah ditentukan, sehingga harus
dilakukan perubahan untuk memperbesar bau sesuai dengan ukuran
yang telah ditentukan. Biasanya ukuran bau yang tepat baru
dapat dicapai setelah dilakukan pengulangan proses ngundurke dan
proses jero sampai sekitar empat kali. Pada saat ini lakar sudah
menunjukkan bentuk sebagai gamelan (kempul) walaupun
belum sempurna.
Kemudian proses kelima adalah lakaran. Lakaran adalah lakar yang
dibuat dengan jalan menempa bagian pinggir untuk membentuk lambe agar
nanti dapat berbentuk bundar dan halus. Langkah awal adalah proses jleber,
yaitu proses menempa permukaan lakar agar menjadi lebar. Kemudian dilakukanlah
empat macam pukulan palu, pertama adalah palu ngarep, yaitu pukulan
pertama paling depan yang mendahului dan memberi petunjuk pada penalu
berikutnya tempat mana yang seharusnya dipalu. Kedua adalah palu nengah yang
dilakukan segera setelah palu ngarep memalu. Ketiga, palu
ngapit, yaitu memalu bagian paluan pemalu nengah yang kosong atau mengalami
kesalahan pemaluan. Keempat, palu nepong, yang berfungsi meratakan
paluan sebelumnya.
Jangka kemudian digunakan untuk melihat apakah ukuran gamelan masih tetap
tepat atau tidak, jika tidak berubah, maka selanjutnya dilakukan mendo untuk
lebih menghaluskan gamelan dan dilanjutkan dengan proses mamasu sebagai
tahap terakhir dari proses penempaan.
Proses terakhir yang dilakukan di dalam besalen adalah mengelem,
yaitu memasukkan gamelan ke dalam planden (hak yang dibuat ke
dalam lantai dilapisi batu bata yang disemen di bagian pinggirnya sehingga
menyerupai sumur) langsung dari perapen. Plandan berisi
air untuk mendinginkan gamelan yang telah selesai diproses di besalen
1.
Di Luar Besalen
Proses pertama kali yang dilakukan di luar besalen adalah
proses mengikir cemengan yang dilakukan dengan menggunakan kikir
kasar atau pematar3. Cemengan adalah
gamelan yang belum diberi nada. Pematar (pekerja) kemudian
melakukan proses ngalus ( menghaluskan) dengan menggunakan kikir lebut atau kikir
alus. Kemudian proses dilanjutkan dengan nesik, yaitu
penghalusan dengan alat tesik. Pada saat ini proses nglaras (pemberian
nada) telah dimulai karena pemberian nada dilakukan bersamaan dengan
dilakukannya proses-proses tersebut.
Tahap selanjutnya yang dilakukan oleh penggosok (pekerja untuk menghaluskan
gamelan dengan digosok) adalah ngamril dengan menggunkaan amplas. Selanjutnya
dilakukanlah proses gebeg, yaitu menghaluskan gamelan dengan
neggosoknya dengan menggunkaan batu-bata yang telah ditumbuk halus, serta
sebagai proses terakhir adalah mbraso, yaitu membuat gamelan
berkilan dengan menggunakan braso.
Dalam pembuatan gamelan, proses terpenting adalah proses nglaras,
yaitu proses pemberian nada. Diperlukan kepekaan telinga yang tinggi dari
pelaras (pekerja yang melaras) agar nada yang dihasilkan tepat. Melaras
dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pekerjaan pokoknya sebagai pematar,
karena tingkat kesukaran yang tinggi, untuk melaras gamelan besar seperti gong
ageng biasanya diperlukan ahli nglaras gong ageng. Proses
melaras ini penting dalam menentukan mutu dan ciri khas larasnya (suaranya).
Tiap bentuk gamelan, seperti pancon atau wilahan,
memerlukan cara melaras yang berbeda pula. Hal yang paling penting untuk
diperhatikan adalah pada saat pembesaran atau pengecilan nada. Dalam mengetahui
ketepatan nada tersebut, maka dilakukan dengan cara memukul gamelan tersebut
atau menyentuhkan gamelan pada lututnya (khusus untuk gamelan wilahan)
Pembesaran nada untuk gamelan wilahan dilakukan dengan
cara mengikir bagian lemahan sedikit demi sedikit sampai
memperoleh nada yang diperlukan. Pengecilan nada gamelan wilahan ini
dilakukan dengan mengikir bagian buntar sedikit demi sedikit
hingga mencapai nada yang pas pula.
Pada gamelan pancon dan bonang, pembesaran
nadanya dilakukan dengan memukul bagian rai sedikit demi
sedikit dari luar, atau mengikir pada bagian rai, dudu,
dan pok pencu (pencu bagian bawah). Pengecilan
nada dilakukan dengan cara menjuluk (memukul dari arah dalam)
sedikit demi sedikit pada bagian rai. Namun, dalam pelarasan bonang berukuran
lebih besar, kempul dan suwu’an, memerlukan cara
lain, yaitu menggunakan lempung.
Lempung digunakan untuk mencari nada yang tepat dengan cara meletakkan lempung di
bagian dalam pencudan kemudian gamelan dipukul untuk didengar
suaranya. Usaha untuk mempertahankan suara tersebut dilakukan dengan cara
mengambil lempung sedikit demi sedikit yang diikuti dengan
memukul bagian dekat pencu dari arah luar atau dari arah dalam
(didedeg) pada bagian pinggir rai. Lempung dapat
juga diletakkan di bagian pinggir rai dan untuk mengambilnya
dilakukan pula sedikt demi sedikit, dimana bagian yang harus di pukul adalah
dekat lempung diletakkan sehingga pukulan dilakukan dari luar
tetapi pukulan dapat pula dilakukan dari dalam yaitu pada bagian dekat pancu.
Gamelan yang telah selesai diproses diluar besalen berarti
telah menjadi gamelan yang sempurna, tetapi sebelum diserahkan pada pembeli,
gamelan tersebut harus ditempatkan dan diatur terlebih dahulu diatas rancakan (tempat
gamelan) yang biasanya telah dipesan oleh pemilik besalen dari
pembuatnya.
Ukuran Gamelan Jenis Pencon
Jenis Pencon
|
Diameter
|
Bau
|
Berat
|
Bonang Penerus
|
17,5 cm
|
7 cm
|
2 kg
|
Bonang Barung
|
21 cm
|
9 cm
|
3 kg
|
Kenong
|
34 cm
|
13,5 cm
|
10 kg
|
Kempul
|
47 cm
|
13,5 cm
|
9 kg
|
Gong suwu’an
|
80 cm
|
25 cm
|
38 kg
|
Gong Ageng
|
100 cm
|
35 cm
|
80 kg
|
Sistem religi dalam pembuatan gamelan
Menurut kepercayaan di lingkungan pembuat gamelan, pembuatan gamelan
sebenarnya tidak hanya dilaksanakan di alam nyata (duniawi) saja, melainkan
juga dilaksanakan di alam yang tidak terlihat (gaib) sehingga keberhasilan
dalam pembuatan gamelan tersebut hanya bisa tercapai apabila pelaksanaan
pembuatan gamelan yang dilakukan di dua alam tersebut berjalan dengan baik dan
serasi.
Pemilik besalen merupakan orang utama bagi terciptanya
keserasian antara kedua alam tersebut. Pada malam hari pemilik besalen tidak
boleh tidur dan harus bersasmita dengan harakat tidak merem-melek yang
dibantu oleh istrinya. Selain itu juga diadakan selamatan dengan sesaji bagi
penghuni alam gaib.
Dalam selamatan terdapat sesajen berupa nasi uduk dengan ingkung
ayam, kedele goreng, bawang merah, garam dan cabai, kerupuk, sambal goreng,
jenang merah putih, jenang katul dengan kelapa dan gula, kemudian sekul
asahan sebanyak dua buah yang terdiri atas nasi putih, mi goreng,
sambal goreng, tempe, tahu, asmaradhana (kacang yang dicampur
dengan kelapa dan gula yang diolah), cenggereng, lento singkong, ikan goreng,
kerupuk, jeroan ayam, juga sekul golong yang berupa nasi putih
yang berbentuk bulat padat dilengkapi dengan ayam panggang komplit, serta
jajanan pasar, bekokok (ketan berbentuk boneka) sebanyak dua
buah yaitu laki-laki dan perempuan, dan ciu (sejenis minuman
keras) sebagai pelengkap bekokok.
Setelah makanan tersebut dikondangke (dibacakan doa secara
bersama oleh peserta selamatan), maka kedua bekokok kemudian
dikubur di dekat plandang dan kemudian disiram dengan ciu. Maksud
dibuatnya bekokok adalah untuk mewujudkan makhluk-makhluk yang
tidak terlihat agar “mereka” mau menjaga keselamatan para pekerja
Selamatan yang diadakan setelah pembuatan gamelan dinamakan riyayani.
Selamatan ini bertujuan sebagai tanda terima kasih dan pemberitahuan kepada
“penghuni” alam gaib bahwa pembuatan gamelan telah usai.
Proses Pembuatan Gamelan :